Padahal, masing-masing menyimpan kekayaan lokal yang khas.
Kaya Potensi, Minim Kunjungan
Lihat saja Kabupaten Malaka. Dengan hamparan sawah hijau dan kultur agraris khas Timor, daerah ini hanya mencatat 15.506 kunjungan wisatawan sepanjang 2023.
Ironisnya, hanya 22 di antaranya adalah wisatawan mancanegara. Sementara itu, Lembata—yang menyimpan tradisi penangkapan paus di Lamalera yang telah menjadi sorotan film dokumenter internasional hanya berhasil mendatangkan 15.293 wisatawan.
Timor Tengah Selatan (TTS), dengan gugusan batu megalitikum Fatu Nausus dan desa adatnya yang memesona, tercatat meraih 24.914 kunjungan.
BACA JUGA:Menyusuri Savana Terindah di NTT: Afrika Kecil dari Timur Indonesia
BACA JUGA:Menyelami Keindahan dan Budaya Eksotis Pulau Sumba
BACA JUGA:3 Destinasi Pesona Alam dan Budaya yang jadi Tempat Petualangan Seru di NTT
Angka yang serupa muncul di Nagekeo, sebuah kabupaten di jantung Pulau Flores dengan lanskap pantai, danau, serta situs budaya, yang dikunjungi 25.714 wisatawan. TTU, meski berada di jalur strategis perbatasan RI-Timor Leste, hanya mencatat 43.037 kunjungan.
Sedangkan Sabu Raijua, yang memiliki bentang alam savana ala Afrika dan budaya maritim kuat, mencatat 80.280 wisatawan, tertinggi di antara enam wilayah ini, namun tetap jauh tertinggal dibandingkan Manggarai Barat dengan lebih dari 400 ribu kunjungan per tahun.
Para pelaku wisata menilai, masalah utama bukan pada kekurangan pesona, melainkan aksesibilitas, infrastruktur, dan promosi digital yang belum optimal. Gubernur dan Dinas Pariwisata Provinsi NTT tak tinggal diam.
Dalam RPJMD 2025–2028, pemerintah menetapkan Lembata, Nagekeo, dan TTS sebagai prioritas baru pengembangan wisata di luar destinasi utama.