Kabupaten Sabu Raijua: Permata Terpencil dari Tenggara Indonesia

Potret Orang Sabu--
Disway.id, NTT - Di sudut tenggara Indonesia, tersembunyi sebuah kabupaten kecil yang kerap luput dari perhatian nasional. Namanya Sabu Raijua, sebuah wilayah kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meskipun terpencil, menyimpan kekayaan budaya dan keindahan alam yang luar biasa.
Terpisah Tapi Tetap Indonesia
Kabupaten Sabu Raijua terdiri dari tiga pulau utama: Pulau Sabu, Pulau Raijua, dan Pulau Dana. Ibukota kabupaten ini terletak di Seba, di Pulau Sabu. Secara geografis, kabupaten ini berada lebih dekat ke Australia daripada ke Jakarta, dan merupakan salah satu titik paling selatan dalam peta Indonesia.
Akses ke Sabu Raijua masih terbatas. Jalur udara hanya tersedia beberapa kali dalam seminggu melalui pesawat perintis dari Kupang, sementara jalur laut bergantung pada kondisi cuaca yang sering tak menentu. Kondisi ini menjadikan Sabu Raijua sebagai salah satu kabupaten dengan aksesibilitas terendah di Indonesia.
Kaya Tradisi, Miskin Infrastruktur
Meski terpencil, Sabu Raijua adalah rumah bagi budaya khas yang masih lestari. Masyarakat setempat memiliki sistem adat yang kuat, termasuk kalender pertanian tradisional, rumah adat berbentuk kerucut (ume kebubu), dan upacara sakral seperti Hawata dan Yububu. Kain tenun Sabu yang disebut hinggi juga dikenal akan motifnya yang unik dan penuh makna filosofis.
Sayangnya, kemiskinan struktural masih menjadi tantangan utama. Banyak desa belum memiliki akses listrik 24 jam, jaringan internet lemah, dan fasilitas kesehatan terbatas. Di beberapa wilayah, masyarakat masih berjalan kaki berjam-jam untuk menjangkau sekolah atau puskesmas terdekat.
Potensi Wisata yang Belum Tergarap
Dengan pantai berpasir putih, laut biru jernih, dan padang savana yang menakjubkan, Sabu Raijua sebetulnya menyimpan potensi pariwisata yang sangat besar. Pulau Raijua, misalnya, dikenal memiliki ombak tinggi dan berpotensi menjadi destinasi surfing kelas dunia. Sementara itu, Pulau Dana yang tidak berpenghuni dianggap suci oleh masyarakat lokal dan menjadi objek penelitian antropologi yang menarik.
Namun, tanpa promosi yang memadai dan infrastruktur dasar seperti penginapan, transportasi lokal, dan air bersih, potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal.
Sumber: