Wujudkan Swasembada Garam, Potensi di NTT Perlu Dioptimalkan

Wujudkan Swasembada Garam, Potensi di NTT Perlu Dioptimalkan

Wujudkan Swasembada Garam, Potensi di NTT Perlu Dioptimalkan--

Disway.id, NTT - Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia mencapai swasembada garam nasional pada 2027. Target itu ditegaskan melalui Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional yang menjadi landasan penguatan produksi garam dalam negeri. 

 

Meski kebutuhan garam konsumsi sudah terpenuhi dari produksi domestik, Indonesia masih sangat bergantung pada impor garam industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam lima tahun terakhir volume impor garam selalu di atas 2,7 juta ton per tahun dengan rata-rata 2,72 juta ton. Sementara produksi domestik hanya mencapai sekitar 1,64 juta ton per tahun, jauh di bawah kebutuhan nasional yang diperkirakan mencapai 4,5–4,9 juta ton per tahun.

Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI) Y. Paonganan atau Ongen menilai, langkah luar biasa diperlukan untuk mewujudkan kemandirian garam. Menurutnya, publik sering salah memahami isu ini karena menganggap semua garam sama. Padahal, garam industri memiliki spesifikasi teknis yang jauh lebih tinggi dibanding garam konsumsi. 

 

“Publik sering bertanya, Indonesia negara maritim dengan 75 persen wilayah laut, mengapa masih impor garam? Yang perlu dipahami, memproduksi garam industri tidak mudah. Spesifikasinya sangat ketat, memerlukan teknologi modern, dan kualitas bahan baku air laut yang kaya NaCl,” kata Ongen dalam keterangan tertulis, Kamis (28/8).

Ongen menilai Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi terbesar untuk menjadi pusat produksi garam industri nasional. Iklim kering dan kualitas air laut yang tinggi menjadikan wilayah seperti Sabu Raijua, Rote Ndao, Kupang, hingga Timor Tengah Utara (TTU) ideal untuk pengembangan garam industri. 

 

“Jika pemerintah serius menjadikan NTT sebagai lumbung garam industri, target swasembada 2027 sangat realistis dicapai. Selain mengurangi ketergantungan impor, hal ini juga membuka pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia,” ujarnya.

 

Sebagai akademisi dan praktisi kemaritiman, Ongen menekankan pentingnya sinergi investasi teknologi, pembangunan infrastruktur, regulasi yang berpihak pada petambak, serta edukasi publik agar masyarakat memahami perbedaan antara garam konsumsi, industri, dan farmasi.

Ia menilai dukungan kebijakan nasional dan pemangkasan kuota impor secara bertahap harus dibarengi fokus pengembangan wilayah potensial seperti NTT. Dengan strategi yang tepat, Indonesia diyakini dapat mengurangi ketergantungan impor garam industri dalam beberapa tahun ke depan.

“Kuncinya ada pada keberanian mengeksekusi kebijakan dan memberi prioritas pada wilayah yang tepat. NTT adalah jawabannya,” tegasnya.

Sumber: