Ruang Rapat Gubernur Memanas, Diskusi Pemanfaatan Energi Panas Bumi Flores masih Buntu

Ruang Rapat Gubernur Memanas, Diskusi Pemanfaatan Energi Panas Bumi Flores masih Buntu

Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena ketika memimpin pertemuan terbatas membahas dinamika pembangunan geotermal di pulau Flores. Pertemuan tersebut dilakukan di Gedung Sasando, Kantor Gubernur NTT, Senin (28/4/2025)--

Disway.id, NTT - Ruang rapat lantai dua Gedung Sasando, Kantor Gubernur NTT siang itu lebih dari sekadar hangat. Di bawah langit Kupang yang membakar, diskusi soal energi yang tersimpan di perut bumi Flores memanas enam jam tanpa jeda.

Di seberang meja, Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena, para bupati dari Flores, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, pengembang, dan kelompok masyarakat adat duduk bersama. Agenda mereka jelas yaitu bagaimana memanfaatkan kekayaan uap di perut bumi Flores tanpa menyingkirkan akar, hutan, dan suara rakyat.

BACA JUGA:Bidik Transaksi Ritel, BTN Gelar Travel Fair di BTN Digital Store

“Posisi kami tegas. Kalau proyeknya bagus, lanjut. Kalau kurang bagus, kita perbaiki sesuai aspirasi. Kalau jelek dan merusak, ya kita tutup,” ujar Melki, sapaan sang gubernur, seusai rapat tertutup pada Senin (28/4/2025) itu.

Pemerintah Provinsi NTT sedang menyusun narasi besar pengembangan energi panas bumi yang lebih berkeadilan. Di tengah sorotan tajam kelompok advokasi lingkungan dan keraguan dari sebagian masyarakat adat, mereka menjanjikan tiga pilar yaitu transparansi, partisipasi lokal, dan pelestarian berbasis kearifan. Panas bumi, menurut Gubernur Melki, bukanlah ancaman. Ia adalah warisan alam yang harus dijaga sambil dimanfaatkan secara bijak.

BACA JUGA:Perluas Jangkauan Bisnis, Bank Mandiri Hadirkan Kantor Cabang Alor

Flores memang menyimpan api di perutnya. Dengan potensi lebih dari 1.000 MW dari belasan wilayah kerja panas bumi (WKP), pulau ini disebut-sebut sebagai episentrum energi hijau Indonesia Timur. Proyek-proyek seperti Ulumbu dan Nage mulai menunjukkan geliat positif. Namun tidak semua berjalan mulus. Di Sokoria dan Mataloko, penolakan masih menggelora. Di Waesano dan Pocoleok, konflik adat dan isu perusakan lingkungan menebar bara.

“Masalahnya bukan pada panas buminya, tapi pada caranya,” kata seorang tokoh adat dari Manggarai yang hadir dalam pertemuan. “Kami butuh bukti bahwa kami dilibatkan sejak awal, bukan hanya diundang setelah izin keluar.”

 

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT dan JPIC SVD – Komunitas Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan dari Serikat Sabda Allah (SVD) – mengkritik proses sosialisasi yang dinilai sepihak serta potensi degradasi lingkungan. Mereka meminta studi dampak yang lebih menyeluruh dan kebijakan yang berpihak pada warga sekitar.

Gres Gracelia, Divisi Advokasi WALHI NTT, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Ia menyampaikan kekhawatiran bahwa proyek geothermal selama ini cenderung menyingkirkan ruang partisipasi masyarakat dan mengabaikan keutuhan ekologis serta budaya lokal. “Prosesnya sejak awal sudah cacat. Kebijakan ditetapkan tanpa melibatkan rakyat Flores sebagai pemilik tanah dan ruang hidup,” ujarnya.

BACA JUGA:Luncurkan Program Rumah untuk NAKES, BTN Siapkan 30.000 Unit Rumah Subsidi

Menurut Gres, WALHI menemukan sejumlah pola pelanggaran di lapangan: dari manipulasi data penolakan warga, konflik horizontal di tengah masyarakat, hingga intervensi aparat yang membenturkan warga dengan negara. Ia menyebut bahwa beberapa proyek justru menyudutkan masyarakat lewat penggiringan opini di media. “Ini bukan sekadar soal teknis, ini soal keadilan ekologis,” sebut Gres.

Ia mempertanyakan dasar penetapan Flores sebagai pulau panas bumi berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 2268/K/30/MEM/2017. “Berapa orang Flores yang terlibat dalam proses itu? Hampir tidak ada,” kata Gres.

Sumber: