Warga juga mengkritik sikap Gubernur NTT yang dinilai pasif dan menyerahkan masalah ini kepada tim teknis tanpa mendengarkan langsung keluhan masyarakat.
“Mereka (tim teknis) tidak pernah tinggal di tengah-tengah warga untuk mencicipi rasanya menjadi warga yang harus menghirup aroma belerang nyaris setiap detik,” jelas Andreas.
Seruan Warga: Hentikan Proyek, Pulihkan Kehidupan
Dalam konferensi ini, warga yang terdampak menyampaikan seruan tegas mereka:
- Pertama, hentikan seluruh aktivitas proyek geotermal di Nusa Tenggara Timur.
- Kedua, batalkan seluruh izin proyek geotermal di wilayah yang tidak memiliki persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat.
- Ketiga, tarik semua aparat militer dan polisi dari wilayah konsesi panas bumi.
- Keempat, bebaskan seluruh warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah dan airnya.
- Kelima, pulihkan lahan, air, dan ruang hidup yang telah rusak akibat aktivitas eksplorasi maupun pembukaan akses.
- Keenam, lakukan audit lingkungan independen dengan partisipasi penuh warga.
- Ketujuh, hentikan pemecahbelahan komunitas melalui manipulasi sosialisasi, janji CSR, dan tekanan politik.
- Kedelapan, tempatkan perempuan sebagai subjek dalam seluruh proses keputusan dan pemulihan.
- Kesembilan, adili seluruh tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama operasi proyek geotermal di Flores dan Lembata.
Maria Suryanti Jun, perempuan dari Poco Leok menambahkan bahwa perempuan dan anak-anak juga merasakan dampak besar dari proyek ini.
“Kami menolak bukan karena kebencian, tapi karena cinta pada tanah, air, dan kehidupan kami,” tegasnya.