Kerajaan Swaziland dan Tradisi Poligami Terbesar
--
NTT, DISWAY.ID - Kerajaan Eswatini adalah satu-satunya monarki absolut yang tersisa di benua Afrika. Awalnya kerajaan ini bernama Swaziland.
Berlokasi di Afrika bagian selatan, kerajaan kecil ini terkenal karena kebiasaan para rajanya yang melakukan poligami gila-gilaan.
Bagi rakyat Eswatini, banyak istri bukanlah aib, melainkan simbol kekuasaan, kesuburan, dan persatuan suku. Sedangkan bagi rajanya, poligami bukan sekadar urusan cinta, tetapi juga alat politik untuk mengikat kesetiaan.
Sejarah Singkat Kerajaan Eswatini
Kerajaan Eswatini berakar dari abad ke-18, ketika Raja Ngwane III mempersatukan berbagai suku Bantu di wilayah pegunungan selatan Afrika. Dari sanalah lahir Dinasti Dlamini, yang garis keturunannya memerintah Kerajaan Eswatini sekarang ini.
Kerajaan Eswatini awalnya bernama Swaziland, nama yang diambil dari Raja Mswati II (1840–1868), yang memperluas wilayah kerajaan.
Pada 2018, putranya usianya terpaut jauh, Raja Mswati III, mengganti nama kerajaan atau negara kecil itu menjadi Eswatini. Tujuannya untuk menegaskan identitas nasional setelah era kolonial.
Sekadar diketahui, kerajaan ini pernah dijajah secara tidak langsung oleh Inggris melalui sistem protektorat dari tahun 1903 hingga 1968.
Berbeda dari monarki konstitusional seperti Inggris atau Jepang, Eswatini masih menganut monarki absolut. Artinya, raja memegang kekuasaan penuh atas politik, ekonomi, dan hukum—termasuk dalam hal memilih banyak istri.
Raja-raja Eswatini Poligami Gila-gilaan
Kerajaan Eswatini sejauh ini baru diperintah oleh dua raja, yakni Raja Sobhuza II dan kemudian diteruskan putranya, Raja Mswati III.
1. Raja Sobhuza II dengan 70 Istri dan Ratusan Anak
Nama Raja Sobhuza II (1899–1982) tercatat dalam Guinness World Records sebagai salah satu raja dengan masa pemerintahan terlama di dunia—82 tahun di atas takhta, sejak 1899 hingga wafatnya pada 1982.
Namun, ketenarannya bukan hanya karena lamanya berkuasa, melainkan juga karena poligami yang luar biasa besar.
Menurut Britannica dan Encyclopaedia of African History, Raja Sobhuza II memiliki sekitar 70 istri resmi, dan dari mereka lahir lebih dari 200 anak.
Dalam budaya Swaziland, setiap istri berasal dari klan besar yang berbeda, sehingga setiap pernikahan menjadi aliansi politik antar-suku.
Menurut seorang penasihat kerajaan, ketika raja menikahi seorang perempuan dari suatu klan, berarti dia menikahi seluruh keluarganya. Itu artinya, klan itu tak akan berani memberontak.
Raja Sobhuza II juga dikenal sebagai raja yang mengantarkan Swaziland—yang kini bernama Eswatini—menuju kemerdekaan dari Inggris pada 1968.
Tapi di balik keberhasilan politiknya, Kerajaan Swaziland juga menghadapi persoalan internal, yakni perebutan suksesi di antara ratusan anak lelaki dari puluhan ibu yang berbeda.
Setelah kematian Raja Sobhuza II, Dewan Liqoqo menunjuk Ntombi Tfwala sebagai Ratu Pemangku Sementara (Queen Regent) hingga putranya dewasa.
Pada tahun 1986, Makhosetive dinobatkan menjadi Raja Mswati III pada usia 18 tahun. Gelar resminya dalam bahasa Swaziland adalah Ngwenyama (Singa)—gelar tradisional bagi raja Eswatini.
Ketika Mswati III naik takhta dan mengubah nama Kerajaan Swaziland menjadi Kerajaan Eswatini, rakyat kerajaan berharap modernisasi.
Tapi yang terjadi, dia justru mewarisi tradisi poligami istana ayahnya—lengkap dengan kemewahan yang mengiringinya.
Hingga kini, Raja Mswati III memiliki 15 istri resmi dan lebih dari 35 anak.
Dia masih menjalankan ritual tahunan Umhlanga Reed Dance, sebuah festival besar di mana ribuan gadis muda menari di hadapan raja. Dari acara itulah, raja kadang memilih calon istri barunya sebuah praktik yang dipertahankan meski menuai kritik dari aktivis perempuan dan media internasional.
Dalam laporan lama dari The Guardian dan BBC Africa, festival tersebut dianggap sebagian kalangan sebagai simbol budaya, namun bagi pengamat Barat sering dituding sebagai bentuk objektifikasi perempuan.
Raja Mswati III hidup mewah—istana besar, pesawat pribadi, dan deretan mobil mewah, sementara hampir 60% rakyat Eswatini hidup di bawah garis kemiskinan. Kontras antara kekuasaan tradisional dan realitas sosial modern membuat kerajaan ini kerap jadi sorotan dunia internasional.
Sumber: