Penyelundupan Santigi Senilai Ratusan Juta dari NTT

Penyelundupan Santigi Senilai Ratusan Juta dari NTT

--

NTT, DISWAY.ID - Kepala Bidang Teknis KSDA Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur, Yos Ranga menegaskan bahwa Santigi kini menjadi jenis tumbuhan yang paling sering ditemukan dalam kasus peredaran ilegal di wilayah NTT. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Teknis Peredaran dan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) di Kupang, Senin (17/11). Menurut Yos, tingginya minat kolektor bonsai terhadap Santigi mendorong maraknya pengambilan dari alam tanpa izin. Ia menyebut, sebagian besar pelaku usaha dan masyarakat belum memahami mekanisme perizinan, sehingga benturan di lapangan kerap terjadi.

“Santigi ini tanaman pesisir dengan populasi yang tidak besar. Banyak yang ingin mengusahakannya, tetapi harus melalui izin yang jelas. Untuk komersial, mekanismenya wajib ditempuh sesuai aturan, bukan sekadar mengambil lalu mengirim,” kata dia. 

Yos menyampaikan bahwa sejumlah pelaku usaha telah berkonsultasi terkait perizinan budidaya dan pengiriman Santigi. Namun, proses legalitas melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS) dan pertimbangan teknis KSDA tetap harus dilalui. Ia berharap izin edar bagi pengusaha yang mengajukan dapat terbit tahun depan sehingga pemanfaatan Santigi berlangsung secara legal.

Dalam operasi tahun 2025, petugas menemukan Santigi dalam jumlah besar. Sebagian bahkan disembunyikan dalam plastik hingga botol air mineral untuk mengelabui petugas. BBKSDA mencatat berbagai modus dalam perdagangan ilegal TSL, seperti pengiriman tanpa dokumen resmi, penggunaan dokumen palsu, penggunaan dokumen secara berulang, pengiriman melalui jasa ekspedisi tanpa izin, hingga penyembunyian dalam kemasan botol atau plastik. “Banyak kasus terdeteksi bukan dari laporan, tapi dari ketelitian petugas karantina di lapangan. Karena itu, kolaborasi sangat penting,” ujar Yos. Santigi tercatat sebagai temuan terbesar selama 2022–2025, dengan enam kasus penindakan. Angka ini melampaui temuan satwa lain dan menunjukkan meningkatnya tekanan terhadap tumbuhan pesisir tersebut. Selain Santigi, sejumlah jenis TSL lainnya juga terlibat dalam peredaran ilegal sepanjang periode itu, antara lain elang boneli (3 kasus), kuskus, anak komodo, dan elang jari pendek (masing-masing 2 kasus), serta biawak timor, anggrek, penyu sisik, penyu hijau, dan kesturi kepala hitam (masing-masing 1 kasus). Yos mengatakan, sebagian besar persoalan di lapangan bermula dari kurangnya komunikasi antara pelaku usaha dan instansi pengawas. Ia berharap, masyarakat yang ingin mengurus izin pemanfaatan TSL, khususnya Santigi, dapat berkoordinasi lebih awal dengan pejabat teknis. “Kami akan kawal proses perizinan. Yang penting komunikasi. Kita ingin pemanfaatan TSL tetap berjalan, tetapi sesuai aturan dan tidak merusak populasi di alam,” katanya. Sementara itu, Kepala BBKSDA NTT, Adhi Nurul Hadi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam perlindungan TSL, terutama di tengah perubahan regulasi konservasi yang berlangsung cepat. Ia mengatakan, NTT memiliki ekosistem unik dengan jenis flora dan fauna yang berbeda dari wilayah lain. Kondisi tersebut membuat kawasan ini penting dari sisi konservasi, namun sekaligus rentan terhadap eksploitasi dan perdagangan ilegal. “Jenis-jenis di wilayah kita populasinya unik. Karena itu, keberlanjutan ekosistem ini harus kita jaga bersama sesuai peraturan yang berlaku,” ujarnya. Adhi menyebut keterbatasan sumber daya manusia serta luasnya wilayah pengawasan menjadi tantangan tersendiri. Karena itu, peran pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat dibutuhkan.

Menurut Adhi, dinamika kebijakan konservasi saat ini tidak hanya menyesuaikan aspek ekologis, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. “Perkembangan ini harus dijawab dengan kebijakan yang memberi kepastian, tetapi tetap menjaga kelestarian,” katanya. Ia menyoroti terbitnya Peraturan LHK Nomor 18 Tahun 2024 yang membuka ruang pemanfaatan TSL secara lebih luas bagi masyarakat dan pelaku usaha. Regulasi itu mengatur penangkaran, pemeliharaan kesenangan, hingga perdagangan spesies tertentu yang diizinkan. “Regulasi baru ini memberi peluang masyarakat untuk terlibat dalam budidaya dan pemanfaatan TSL secara legal. Beberapa jenis bahkan dapat diurus izinnya tanpa proses panjang, meski tetap melalui pengawasan ketat,” ujar dia. Namun, kemudahan tersebut juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan izin jika tidak diimbangi pengawasan berlapis.

Karena itu, Adhi menekankan pentingnya peningkatan pengendalian, terutama karena cukup banyak pihak di NTT yang ingin mengembangkan budidaya maupun perdagangan TSL. “Karena akses lebih mudah, maka pengawasan juga harus semakin ketat. Kami berharap semua pihak melaporkan jika ada aktivitas yang membutuhkan pendampingan atau pengawasan,” kata dia.

Sumber: