Larangan Menyapu di Malam Hari: Mitos atau Nasihat Bijak dari Leluhur?

Larangan Menyapu di Malam Hari: Mitos atau Nasihat Bijak dari Leluhur?

--

NTT, DISWAY.ID - Pernahkah kamu ditegur orang tua karena menyapu di malam hari? Katanya bisa bikin rezeki hilang atau membuat rumah didatangi makhluk halus. Mitos ini sudah turun-temurun dipercaya masyarakat Indonesia, terutama di daerah Jawa. Namun, di balik larangan itu, ternyata ada makna yang lebih dalam daripada sekadar kepercayaan lama.

 

Asal-usul Larangan Menyapu di Malam Hari

Dalam budaya Jawa dan Melayu, menyapu di malam hari dianggap pamali sebuah pantangan yang sebaiknya tidak dilakukan. Konon, jika seseorang menyapu rumah setelah matahari terbenam, maka rezeki keluarga akan “tersapu” keluar, dan keberuntungan akan menjauh.

Ada juga versi lain yang menyebut bahwa menyapu malam hari dapat mengundang roh halus atau membuat penghuni rumah celaka dalam waktu dekat. Cerita ini sering disampaikan orang tua kepada anak-anak sebagai peringatan agar tidak berbuat sembarangan di malam hari.

 

Makna Filosofis di Balik Larangan

Jika ditelusuri lebih dalam, larangan menyapu di malam hari bukan semata-mata soal mistik, tapi mengandung pesan kebersihan, etika, dan keselamatan.

1. Kondisi malam hari yang gelap dulu membuat kegiatan menyapu berisiko barang kecil seperti jarum, perhiasan, atau uang bisa ikut tersapu tanpa disadari.

2. Waktu malam adalah waktu istirahat. Leluhur ingin mengajarkan agar malam digunakan untuk beristirahat, bukan bekerja.

3. Simbol rezeki. Dalam pandangan spiritual, menyapu rezeki di malam hari dianggap sebagai tindakan “mengusir berkah” yang sudah masuk ke rumah.

Jadi, meski terkesan mistis, sebenarnya larangan ini juga mengandung ajaran logika dan etika hidup.

 

Antara Kepercayaan dan Kebijaksanaan Lokal

Bagi masyarakat modern, larangan menyapu malam mungkin terdengar tidak masuk akal. Namun, dalam konteks budaya tradisional, mitos semacam ini berfungsi untuk menjaga keteraturan hidup dan ketenangan rumah tangga.

Seperti pepatah Jawa, “Ana dina ana upa” — setiap hari sudah ada rezekinya sendiri. Maka, jangan sampai kita sendiri yang “menyapu” keberkahan itu pergi karena tidak berhati-hati dalam bertindak.

 

Sumber: