Mengenal Quiet Quitting yang marak di Jepang, Begini Pola Pikirnya

Tren Quiet Quitting di Jepang--
"Dulu, para karyawan sangat setia kepada kantor mereka, bekerja berjam-jam, bekerja lembur tanpa bayaran, dan tidak ingin berpindah perusahaan," katanya.
"Sebagai imbalannya, mereka dan keluarga mereka dinafkahi sampai mereka pensiun."
Saat ini, anak muda justru ingin "berkonsentrasi pada hobi mereka, lebih bebas dan punya pekerjaan serta kehidupan pribadi yang lebih seimbang," katanya.
Tsuji melihat pergeseran ini sebagai perubahan yang disambut baik, terutama dengan tingginya tuntutan dari perusahaan di Jepang terhadap karyawan mereka selama beberapa dekade.
"Ini merupakan hal yang baik," kata Tsuji.
"Dulu orang-orang terlalu loyal pada perusahaan mereka dan tidak memiliki kehidupan di luar kantor. Sekarang, jika mereka punya lebih banyak waktu luang, mungkin mereka akan menghabiskan lebih banyak uang dan membantu perekonomian, atau yang lebih penting lagi, bertemu dengan pasangan dan berkeluarga. Hal ini penting karena jumlah penduduk semakin berkurang."
Kematian karena overwork
Kawakami menambahkan alasan lain mengapa quiet quitting menandai perubahan ke arah yang lebih baik bagi jutaan karyawan Jepang.
"Saya menyambut baik perubahan ini karena generasi pekerja yang lebih tua akan memberikan 150% kepada perusahaan mereka, namun harga yang harus mereka bayar adalah 'karoshi'," ujarnya, yakni istilah dalam bahasa Jepang untuk kematian yang diakibatkan oleh kerja berlebihan.
BACA JUGA:Survei Medsos: Gen Z malas Jalin Hubungan Percintaan, Positif atau Negatif?
Pada tahun 1998, terdapat 32.863 kasus bunuh diri di Jepang, dan banyak di antaranya terkait dengan jam kerja yang panjang dan tekanan di tempat kerja. Selama 14 tahun berikutnya, jumlah total kasus bunuh diri tetap berada di atas ambang batas 30.000. Namun, mulai menurun secara bertahap sejak saat itu. Pada tahun 2024, sekitar 20.320 orang meninggal karena bunuh diri, angka terendah kedua sejak data statistik mulai didokumentasikan pada tahun 1978.
"Anak muda kini tidak lagi merasa bahwa mereka tidak punya pilihan selain bertahan di pekerjaan yang membuatnya tidak bahagia, atau membuatnya tidak punya waktu untuk diri sendiri," kata Kawakami. "Hasilnya adalah orang-orang yang lebih bahagia."
Sumber: