Kepala Ombudsman NTT soroti Gaji anggota DPRD dengan Kemiskinan Rakyat
Kepala Ombudsman NTT soroti Gaji anggota DPRD dengan Kemiskinan Rakyat--
Disway.id, NTT - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Daton, menyoroti besaran tunjangan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NTT serta Kabupaten/Kota yang tinggi. Padahal, saat ini warga NTT sedang mengalami kemiskinan yang ekstrem.
"Beberapa hari belakangan ini, sangat ramai perbincangan publik NTT terkait tunjangan rumah dan transportasi DPRD NTT serta DPRD Kabupaten/Kota," kata Darius, kepada Kompas.com, Sabtu (6/9/2025). "Perbincangan tersebut bernada protes dan kritik keras oleh karena besaran tunjangan dituding tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini," tambah Darius.
Menurut Darius, soal gaji dan tunjangan DPRD ini sudah baku diatur dalam peraturan perundangan. Ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum (SBU) masing-masing daerah yang harus dipedomani ketika daerah membuat peraturan gubernur atau eraturan bupati tentang tunjangan DPRD.
Bahkan, mengenai kewajaran harga sewa rumah dan kendaraan untuk menetapkan angka tunjangan, Pemda menunjuk penilai untuk melakukan survei penilaian kewajaran harga. Masalahnya lanjut Darius, adalah jika Pemda dan DPRD tidak mau mempedomani itu dan tidak melalui fungsi revieuw oleh inspektorat sebelum peraturan gubernur/peraturan bupati tentang tunjangan DPRD ditetapkan sehingga angka tunjangannya melampaui batas ketentuan.
Dia mengambil contoh untuk tunjangan DPRD Provinsi. Dia mendapat informasi bahwa untuk tunjangan perumahan dan transportasi DPRD provinsi yang diributkan saat ini, angka hasil tim penilai Pemprov jauh di bawah angka yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur NTT Nomor 22 tahun 2025 yang menjadi dasar pembayaran tunjangan DPRD saat ini. Hasil survei penilai untuk sewa rumah di Kota Kupang paling tinggi Rp 4,5 juta per bulan dan biaya transportasi paling tinggi Rp 18 juta per bulan. "Bandingkan dengan angka dalam Pergub saat ini, tunjangan rumah menjadi Rp 23,6 juta dan transportasi menjadi Rp 28-31 juta," ujar dia. Mungkin saja angka ini sudah sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Dia menambahkan, jika diaudit BPK, hal ini bisa terdeteksi dan andai menjadi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) maka akan diperintahkan dikembalikan untuk kelebihan perhitungan tunjangan. Apabila tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu bisa berpotensi menjadi tindak pidana korupsi berjemaah. "Pengalaman DPRD Kota Kupang periode lalu menunjukan demikian sehingga terpaksa semua kelebihan pembayaran tunjangan dikembalikan. Tetapi jika inspektorat dan auditor BPK bisa diajak kompromi maka hal itu tidak menjadi temuan atau ditutup diam-diam," ujarnya.
Dia menyebutkan, rumus dan pola berhitungan tunjangan sudah diatur regulasi sehingga tidak bisa diatur sesuai selera dan kemauan semata. Dalam hal ini, masih punya soal besar untuk kepatuhan pejabat negara terhadap peraturan perundangan. Apalagi berbicara soal kepatutan, kewajaran dan kepantasan yang mendasari pengambilan keputusan sebagaimana Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Itu masih jauh.
"Karena itu saran kami agar Pemerintah Provinsi bersama DPRD NTT serta para Bupati dan DPRD kabupaten/kota masing-masing mendiskusikan kembali besaran tunjangan dengan pertimbangan kemampuan keuangan daerah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat NTT saat ini," ujarnya.
Sumber: