Ruang Rapat Gubernur Memanas, Diskusi Pemanfaatan Energi Panas Bumi Flores masih Buntu

Rabu 30-04-2025,12:00 WIB
Reporter : Dimas
Editor : Dimas

WALHI juga menilai bahwa proyek geothermal berpotensi menggagalkan program unggulan Pemprov NTT soal hilirisasi non-tambang. “Kalau tanah rusak, air tercemar, dan hasil pertanian turun, bagaimana rakyat bisa hidup?” katanya, seraya merujuk pada penurunan produksi kopi, vanili, dan cengkeh di Mataloko, Sokoria, dan Ulumbu sejak proyek beroperasi.

Menanggapi hal ini, Dirjen EBTKE, Prof. Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pemerintah pusat sedang merevisi regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 7, untuk menyederhanakan perizinan tetapi tetap menekankan aspek sosial dan lingkungan. Ia bahkan mewacanakan pemanfaatan semburan panas bumi untuk destinasi wisata dan pengeringan hasil pertanian sebagai alternatif ekonomi lokal. “Geothermal tidak harus selalu menjadi pembangkit,” kata Prof. Eniya. “Bisa juga menjadi geopark, atau pemandian air panas yang dikelola koperasi desa.”

 

PLN dan pengembang seperti Geo Dipa dan SGI mencoba meredam resistensi dengan program tanggung jawab sosial: pelatihan masyarakat, perbaikan jalan desa, dan sertifikasi lahan. Tapi kepercayaan tak dibangun dalam sehari. Pemerintah daerah kini diminta memperkuat Peraturan Bupati soal penyaluran bonus produksi panas bumi agar benar-benar menyentuh warga.

Di balik layar, strategi besar sedang disusun. Pemerintah ingin menjadikan panas bumi sebagai tulang punggung energi lokal Flores, mengurangi ketergantungan pada BBM bersubsidi yang mencapai Rp1 triliun per tahun. Namun, mereka juga paham bahwa tak bisa lagi membangun dengan pendekatan lama: top-down dan serba teknokratis.

 

Untuk pertama kalinya, mungkin, panas bumi tak hanya dibicarakan dalam bahasa proyek, tapi juga dalam bahasa adat, warisan, dan masa depan.

“Ini bukan sekadar listrik,” ujar Gubernur Melki. “Ini tentang bagaimana kita menghidupkan bumi tanpa melukainya.”

 

(Dimas Satriyo)

Kategori :